Minggu, 20 Juli 2014
Todilaling (Sejarah Kerajaan Balanipa)
Tuesday, May 15, 2012
Awal mula berdirinya Kerajaan Balanipa Mandar bermula dari persekutuan ” Appe Banua Kaiyang “ (Empat Rumah Besar) yaitu : Napo, Samasundu, Mosso dan Todang Todang Keempat Banua Kaiyang tersebut sepakat mendirikan Kerajaan Balanipa di Mandar.Dengan mengangkat Imanyambungi, putra Tomakaka napo sebagai raja pertama.Di bawah pemerintahan Imanyambungi, kerajaan Balanipa Mandar berkembang menjadi besar dan mempelopori persekutuan Kerajaan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga yang wilayahnya meliputi daerah Paku sampai Suremana (Wilayah Sulawesi Barat) . Pada masa mudahnya Imanyambungi pernah menjabat sebagai salah seorang panglima Perang (Tobarani) Kerajaan Gowa di zaman pemerintahan Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada waktu terjadi pertentangan di wilayah negerinya, lalu ia dipanggil untuk membantu menyelesaikan persoalan internal tersebut. Keberhasilannya menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan pertama di kerjaan Balanipa yang dibentuk dari pesekutuan Empat negeri besar (Appe Banua Kaiyyang) yaitu, Napo, Samasundu, Todang Todang dan Mosso, sekitar abad XV tepatnya tahun 1520 M, waktu itu agama Islam belum masuk di Sulawesi Selatan. Pusat pemerintahan Kerajaan ditetapkan di Napo sebagai Ibukota Kerajaan Balanipa suatu wilayah yang sejak lama dikenal sebagai bandar niaga. Ketika Imanyambungi mangkat, beliau digantikan oleh putranya Tomepayung. Imanyambungi dimakamkan dengan ritual kerajaan. 40 orang yang setia pada Imanyambungiyang teridiri dari Pattu’du (penari), dayang dayang serta para pengawalnya ikut serta kedalam liang lahat sampai wafat bersamanya. Seluruh persiapan makanan dan peralatan ritual dibawah serta kedalam liang lahat tersebut. Ritual inilah yang menjadikan Imanyambungi memperoleh gelar dengan sebutan TODILALING (orang yang diangkut bersama dengan perlengkapannya). Gelar ini lebih populer dikalangan orang Mandar dibandingkan nama Imanyambungi sendiri. Makam Todilaling sampai sekarang dapat disaksikan diatas bukit Napo dibawah kerindahan pohon beringin yang menaunginya.
Artikel Sejarah Mandar
Mandar dan Sejarahnya
SEJARAH di tanah MANDAR
Walaupun daerahku ini masih terpencil dan belum dikenal oleh seluruh pelosok negeri Indonesia, tetapi Mandar memiliki sejarah yang tak kala melegendanya dengan sejarah-sejarah negeri kita di daerah lain. Mandar juga memiliki beberapa persamaan karakteristik dengan saudaranya yaitu Bugis, tetapi tetap saja perbedaan diantara keduanya sangatlah jelas. Berikut saya akan memperkenalkan tanah yang kami cintai ini kepada Anak Bangsa Indonesia yang lain:
Asal usul nama Mandar,
Mandar adalah suatu daerah di Propinsi Sulawesi Barat, suku bangsa yang mayoritas mendiami daerah Sulawesi Barat, nama bahasa daerah, dan nama sebuah sungai di Kabupaten Polewali Mandar. Daerah Mandar meliputi lima kabupaten yaitu Kab.Polewali Mandar, Kab.Majene, Kab.Mamuju, Kab.Mamasa dan Kab.Mamuju Utara. Luasnya sekitar 1.105.761 km2. Beberapa pendapat tentang asal mula munculnya istilah Mandar sebagai berikut :
1. Dari Kata mandar yang berarti ‘sungai’. Penduduk di Kec.Tinambung, Kec.Limboro, dan Kec.Allu sepanjang Sungai Mandar(sekarang) apabila mau “turun” mandi di sungai mengatakan Na naungaq mandoeq di uai (Saya akan “turun”/pergi mandi di sungai),
2. Dari kata maqdara. Pendapat ini, didasarkan pada sifat orang Mandar yang salah sedikit saja mereka tidak segan-segan bertikam yang akibatnya bermandi darah. Orang yang member nama ini ialah orang yang berasal dari luar daerah Mandar,
3. Dari kata mandaraq yang berarti bersinar, bercahaya,
4. Dari kata mandaq yang artinya kuat,
5. Dari kata maqandar atau meander ‘mengantar’, boleh juga berarti ‘mengiring’. Pendapat ini berdasarkan cerita rakyat tentang suatu kejadian di suatu daerah Mandar (yang sebelum bernama Mandar) di zaman lampau. Dikisahkan, sebuah rakit yang berisi persumbahan kepada Dewata dari hulu sungai (yang sekarang bernama Sungai Mandar) menuju muara. Seluruh rakyat berbaris dipinggir sebelah menyebelah sungai untuk maqandar (mengantar) rakit itu sampai ke muara. Setiba di muara, manusia pengantar itu mettambung(bertumpuk) di sebelah menyebelah sungai menyebabkan tempat di muara sungai itu bernama Tambung yang kemudian menjadi sebuah kampung. Kira-kira berjarak setengah kilometer dari Tambung arah kehulu, ujung barisan pengantar berbalik berputar untuk kembali ke hulu sungai. Tempat berbalik/berputar kembali, itu pun bernama Paqgiling (dari kata giling atau putar) yang kemudian menjadi sebuah kampung.
6. Dari kata Dharaman (bahasa Hindu/Sansekerta). Terdiri dari dua akar kata, yaitu man+dhar berasal dari bentuk kata dharaman yang berarti ’mempunyai penduduk’. Akhirnya terjadi pertukaran dan perubahan pengucapan menjadi Mandar.
Mandar di masa penjajahan Belanda,
Belanda sangat mempengaruhi sejarah Indonesia pada zaman penjajahan karna Belanda-lah yang menjajah Indonesia paling lama yaitu sekitar 300 tahun, Belanda juga menindas rakyat Indonesia termasuk juga Mandar dengan kejam walaupun tidak sekejam Jepang. Berikut ini saya akan menggambarkan kronologi perlawanan-perlawanan rakyat Mandar terhadap penjajah Belanda :
Perlawanan dan protes keras H.Maata,
- Terjadi pada tahun 1932,
H.Maata, Kepala Desa Pambusuang kepada penjajah Belanda, atas perlakuan mempekerjakan langsung penduduk desanya membuat jalan di Kunyi, tanpa izinnya sebagai Kepala Desa. Perlawanan kecil, tetapi menunjukkan perlawanan menentang Belanda telah menjadi laten di Mandar setidaknya sejak Tokape Maraqdia Balanipa memulainya di abad ke-19. Baharuddin Lopa menggambarkannya seperti yang dituturkan oleh Hasan Latief, bekas Kepala Distrik Tenggelang, 13 juni 1981. Sampai dengan tahun 1932 perlawanan orang-orang Mandar terhadap penjajahan Belanda masih terjadi terus meskipun kecil-kecilan. H. Maata mendatangi kantor Controleur di Polewali menyatakan protes keras kepada pejabat pemerintah kolonial. Semestinya dia sendiri yang memerintahkan langsung kepada penduduknya. Akibat peristiwa itu beberapa tokoh penduduk Desa Pambusuang ditangkap oleh pemerintah kolonial. Semestinya dia sendiri yang memerintahkan langsung kepada penduduknya. Akibat peristiwa itu beberapa tokoh penduduk Desa Pambusuang ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dengan tuduhan berkomplot dengan Kepala Desa H.Maata melakukan pembangkangan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Peristiwa Bendera Merah Putih di Tinambung,
- Tanggal 15 Januari 1946,
Pada peristiwa Bendera Merah Putih ini, Ibu Andi Depu (pahlawan Mandar) memeluk tiang bendera Merah Putih, merupakan sepak terjang penentangan langsung Ibu Andi Depu terhadap tentara Belanda yang ingin menurunkan bendera Merah Putih yang sedang sedang berkibar di depan istana Kerajaan Balanipa (kerajaan terbesar di Sulawesi Barat pada saat itu) di Tinambung. Istana yang sekaligus dijadikan salah satu markas komando perjuangan rakyat Mandar mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, dua hari sebelum Peristiwa Bendera Merah Putih di Tinambung,
- Tanggal 13 Januari 1946,
Aparat NICA telah mengibarkan bendera Belanda di dalam tangis KNIL di Majene. Dengan dukungan Sekutu, 1 Januari 1946 aparat Belanda menurunkan bendera Merah Putih di semua tempat dalam wilayah Majene. Sampai kemudian Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran Tonyaman dan rentetan peristiwa dan pertempuran berikutnya sampai bulan Desember 1946,
- Tanggal 16 Agustus 1946,
Yakni pertempuran antara para pemuda/pejuang di bawah pimpinan Pangiu dan Nyompa melawan pasukan KNIL/NICA di bawah komando Controleur Polewali G.J.Monsers di daerah Tonyaman Polewali. Pejuang bersenjatakan bambu runcing, keris, badik dan parang panjang melawan pasukan KNIL/NICA yang mempergunakan senjata api. Controleur Polewali G.J.Monsers dan beberapa pengawalnya terbunuh. Pejuang merampas satu pucuk pistol dan senjata Ouwengun.
- Tanggal 17 Agustus 1946,
Satu peleton tentara NICA/KNIL menangkapi semua laki-laki dewasa yang ada di Tonyaman. Disiksa habis-habisan.
- Tanggal 18 Agustus 1946,
Pasukan KNIL/NICA melancarkan serangan balasan terhadap markas pemuda/pejuang di Silopo. Pangiu dan kawan-kawan memberikan perlawanan mati-matian. Pabi, pemuda pejuang gugur. Padara, Sida, Mada, dan Pungga Sampe luka parah dan tertangkap. Markas pejuang dibakar habis oleh musuh.
- Pada awal September,
Di bawah pimpinan Ambo Damma, para pejuang menyerang markas musuh di Bungin, lima orang gugur yaitu Amba, Tanai, Billa, Badusama, dan Mangundang. Pertengahan September, pasukan Pangiu Komandan Kompi III melakukan penghadangan di Mirring Polewali. Penghadangan tidak berhasil. Granat yang dilemparkan jatuh di belakang mobil musuh. Beberapa orang rakyat yang kebetulan ada di sekitar daerah penghadangan ditangkap, disiksa dan dibunuh oleh pasukan musuh.
- Pada akhir bulan September,
Pangiu menyerang mata-mata musuh di Binuang yang dipimpin oleh Wa Saira. Wa Saira pun terbunuh juga. Awal Oktober para pejuang di bawah pimpinan Nyompa menyerang mata-mata musuh dan pos polisi NICA di Paku. Beberapa orang mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh.
- Tanggal 7 Oktober 1946,
Terjadi pertempuran antara para pejuang yang dipimpin Masse dan Landi dengan serdadu KNIL di Kalosilosi. Empat orang pejuang gugur, yaitu dipimpin Masse, Tangnga, Reken, dan Kadongboli. Di pihak musuh empat orang mata-mata ditangkap, dibawa ke Riso,Tapango, diadili dan dibunuh.
- Tanggal 8 Oktober 1946,
Serdadu KNIL menyerangan markas pejuang di Tabone. Empat orang pejuang gugur yaitu Lattone, La Runa, Tola dan Tabara (seorang perempuan tukang masak). Beberapa orang terperangkap antara lain Onjang, Apo dan Tanah.
- Tanggal 10 Oktober 1946,
Para pejuang mengadakan pertemuan di Kelapadua. Merencanakan penyerangan umum terhadap musuh di kota Polewali pada tanggal 12 Oktober.
- Tanggal 12 Oktober 1946,
Dipimpin oleh Controleur Polewali Yonasse, serdadu KNIL mendadak menyerang markas pejuang Kompi II di Kelapadua. Dua puluh satu orang pejuang gugur dan beberapa orang ditangkap. Markas pejuang dibakar musuh.
- Tanggal 13 Oktober 1946,
Pasukan KNIL menangkap Badu di Kelapadua. Badu sama sekali tidak mau menyebutkan tempat persembunyian kawan-kawannya sesame pejuang. Badua ditembak mati.
- Tanggal 14 Oktober 1946,
Berdasarkan informasi dari seseorang pengkhinat, serdadu KNIL mengetahui lokasi dan menyerang markas pejuang di Gua Salu Bayo. Dalam pertempuran, Komandan Kompi II Tarrua gugur bersama kedua puteranya, Sampeani dan Lira. Pertengahan November, pemimpin tertinggi perjuangan wilayah Polewali Andi Hasan Mangga tertangkap.
- Tanggal 3 Desember 1946,
Di bawah pimpinan H. Umri dan Nyompa para pejuang melakukan penyusupan besar-besaran ke dalam Kota Polewali untuk melaksanakan penyerangan terhadap kantor Controleur/NICA, markas polisi NICA, dan penjara Polewali. Para pejuang juga melakukan aksi-aksi lainnya mengganggu musuh. Aparat KNIL dan polisi NICA menangkapi Andi Hasan Mangga, Alex Pattola, Pene Dg Pasanre, H.Ummarang, La Hamma, Pangiu, Tamalino, Nongngo, Salampang, Panikkai, Labulan, La Gante, Ati Dg Patoangin, Tonang, Manangi, Panjang, Pama, dan Kati. Sebagian besar ditembak mati dan yang lainnya dipenjarakan. Untuk mengenang, menghargai, menghormati jasa-jasa mereka dibangunlah Monumen Bambu Runcing/Tiga Pahlawan Pejuang Kemerdekaan, dan Monumen Perjuangan 45. Keduanya berada di kota Polewali, kab. Polman.
Peristiwa Tololoq dan Peristiwa Galung Lombok,
Masyarakat Mandar menyebutnya Panyapuang (penyapuan) di Galung Lombok (Desa Galung Lombok, Kec. Tinambung, Kab. Polman sekarang). Pembantaian massal yang dilakukan oleh pasukan Westerling terhadap rakyat Indonesia dari daerah Baruga, Tande, Simullu, Banggae dan sekitarnya (Kab.Majene sekarang) dari daerah Tinambung dan sekitarnya (Kab.Polman sekarang). Pembantaian ini berlangsung 1 Februari 1946 dan menewaskan rakyat dan para pejuang. Kurang lebih 700 orang, termasuk 32 orang tawanan anggota pejuang dari penjara Majene. Latar belakang terjadinya Peristiwa Galung Lombok karena Belanda sama sekali tidak leluasa kembali berkuasa di daerah Mandar. Belanda mendapat perlawanan keras dari rakyat Mandar. Para pejuang yang tergabung dalam organisasi perjuangan KRIS-Muda bahu membahu dengan para pejuang yang membentuk kelas kerang GAPRI 5.3.1 melakukan aksi mengganggu dan melawan Belanda. Belanda pun kewalahan. Perlawanan rakyat semakin sulit dipatahkan. Pasukan berbaret merah yang dikenal dengan sebutan Detachement Speciale Troepen (DST) beranggotakan 123 orang di bawah pimpinan Letnan Satu Raymond Pierre Westerling dikirim oleh pemerintah Belanda dari Batavia ke Sulawesi Selatan dan Barat untuk membina para pejuang untuk memadamkan semangat perjuangan Tetap Merdeka. Westerling memperoleh laporan, kantong-kantong perjuangan rakyat Sulawesi Selatan dan Barat merata di Afdeling Makassar, Pare-Pare, Bonthain, dan Mandar.
- Tanggal 11 Desember 1946,
Letnan Gubernur General Dr.H.J.Van Mook di Batavia mengumumkan keadaan darurat perang (SOB) untuk Afdeling Makassar, Pare-Pare, Bonthain, dan Mandar.
- Tanggal 1 Februari 1947,
Pasukan Westerling di bawah pimpinan Stufkens dan Vermulen mengepung kampung Baruga, Simullu, Segeri, Lembang, Tande (di kab.Majene) dan sekitarnya, Tinambung, Kanreapi, Lawarang (Kab.Polman) dan sekitarnya. Untuk menakut-nakuti rakyat, pasukan Belanda membakar beberapa rumah rakyat. Penduduk pada kampung-kampung tersebut dikumpulkan lalu digiring ke Galung Lombok. Di tempat itu perempuan dan anak-anak dipisahkan dari laki-laki. Kemudian pasukan Westerling mengadakan “pengadilan singkat” untuk mengetahui siapa di antara mereka yang di mata Belanda dicap
Ekstremis. Untuk mengetahui secara pasti siapa anggota organisasi perjuangan GAPRI 5.3.1., KRIS Muda,TRIPS dan ALRI, Stufkens dan Vermuelen mendatangkan 32 orang tawanan anggota pejuang dari penjara Majene, sekitar 10 km dari Galung Lombok. Mereka dipaksa menunjuk siapa di antara massa yang hadir yang menjadi anggota pejuang atau simpatisan pejuang. Mereka menutup mulut rapat-rapat. Karena tentara Belanda tidak berhasil memaksa mereka membuka rahasia, mereka dijejerkan dan ditembak satu persatu. Selanjutnya penembakan dan pembunuhan ditujukan kepada para pemuka masyarakat yang diduga membantu para pejuang. Kepala Distrik dan pemuka-pemuka masyarakat Baruga, Tande, Simullu, dan lain-lain satu persatu menemui ajal. Sementara penembakan missal terjadi di Galung Lombok, Pasukan GAPRI 5.3.1. di bawah pimpinan Basong yang berada di markas pejuang di Pumbeke, segera berangkat ke Segeri menyusul menyusul kawan-kawannya. Pasukan Westerling tidak juga muncul, pada hal mereka sudah lama menunggu. Di Talolo terjadi kontak senjata dengan pasukan Belanda yang sedang patroli. Seorang tentara Belanda hendak memperkosa seorang wanita, dicegah olah Harun dan Habin anggota pasukan pimpinan Basong. Pada pertempuran singkat di Talolo dua orang anggota pasukan GAPRI.5.3.1. gugur yaitu Sukirno dan Yonggang. Di pihak tentara Belanda terbunuh Dickso, Van Feuw, dan seorang lagi yang tidak diketahui namanya. Sesudah pertempuran singkat, Tanne bersama pasukannya datang untuk membantu kawan-kawannya. Tiba-tiba sebuah mobil pasukan Westerling datang. Pasukan Tanne melempar mobil itu dengan granat dan mobil itu pun terbalik masuk jurang. Begitu Stufkens dan Vermuelen mendengar 3 orang anak buahnya dan mobil pasukannya masuk jurang, keduanya langsung naik darah. Maka terjadilah pembantaian massal rakyat di Galung Lombok yang tadinya hanya pengadilan massal mencari para pejuang. Rakyat yang tidak berdosa banyak yang jadi korban. Pembunuhan berlangsung sekitar 07.00 pagi sampai pukul 17.00 sore. Di sore dan malan hari dilaksanakan penguburan seadanya oleh kerabat mereka yang masih hidup dan rakyat yang dipaksa oleh pasukan Westerling. Banyak pejuang dari organisasi perlawanan KRIS Muda, GAPRI 5.3.1., pasukan ekspedisi pejuang dari Kalimantan yang gugur. Untuk mengenang dan sebagai penghormatan kepada mereka dibangun Monumen Korban 40.000 Jiwa Galung Lombok di Desa Galung Lombok, kec. Tinambung, Kab.Polman.
Peristiwa Pembantaian di Pamboang,
- Tanggal 5 Februari 1947,
Peristiwa sejarah ini dilakukan oleh tentara KNIL, menewaskan 35 orang pahlawan termasuk tawanan dari Majene. Diantara korban gugur ialah Kepala Distrik Pamboang, Kepala Desa, dan Polisi Kampung. Sebelum ditembak mati, ada yang disiksa sehebat-hebatnya. Telinga, hidung, dan kemaluan dipotong.
Mandar di masa penjajahan Jepang,
Sama dengan daerah-daerah lainnya di Sulawesi Selatan. Merasakan tekanan, penindasan, dan penderitaan yang sangat besar. Para bekas/pemimpin partai dan pejuang kemerdekaan di Majene, Pamboang, Polewali, dan di tempat-tempat lainnya ditangkap oleh Belanda. Ditahan di Majene sekitar dua sampai tujuh hari lamanya, kemudian dilepaskan dengan perintah agar benar-benar membubarkan semua partai, pergerakan-pergerakan, dan sekolah-sekolah partikelir (swasta) yang ada, disertai ancaman sanksi yang berat apabila tidak dijalankan. Mulai berlaku kekuasaan main pukul dan main hakim sendiri terhadap siapa saja yang dianggap bersalah, walaupun kesalahan itu hanyalah kesalahan kecil. Dalam kesulitan hidup yang berat dan perlakuan sewenang-wenang muncul kelompok pemberani di Kerajaan/Distrik Allu di bawah pimpinan Muhammad Saleh Puanna I Su’ding (lebih dikenal dengan nama Hamma’ Saleh Puanna I Su’ding). Dia dan kawan-kawan melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan Jepang pada bulan Maret 1945. Dimulai dengan soal penagihan pajak yang tidak ditaati oleh mereka. Mereka memilih mengembara di hutan-hutan. Sesekali menyerang polisi Jepang dan menewaskan para polisi Jepang tersebut sedekit demi dekit hingga Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Posted 15th December 2011 by Sipamandar
Sejarah Mandar Dalam Tafsir Sejarah Tunggal
Kategori : Opini
Sejarah Mandar Dalam Tafsir Sejarah Tunggal
Oleh: Suardi Kaco. H
Sejarah yang kita pahami selama ini tidak lain merupakan hasil tafsir manusia terhadap fakta sejarah yang tersusun rapih dalam lembaran-lembaran teks. Kehadiran sejarah dalam sebuah teks tidak pernah membawa konteks yang melingkupinya. Artinya, ketika sejarah mulai ditulis, dalam waktu bersamaan konteks realitas lepas dari padanya. Kehadiran teks dihadapan pembaca seyogianya memahami dan mengkaji konteks yang melahirkan teks tersebut. Karena ketika seorang pembaca melepaskan diri dari konteks, maka yang muncul adalah sikap a historis yang acap kali berujung pada tindakan radikal-fundamentalis.
Kecenderungan itu menjadi rentan dengan kehadiran sejarah sebagai proses legitimasi terhadap kepentingan tertentu. Bahkan sejarah dibuat hanya untuk meneguhkan kepentingan penguasa dan kelompok dominan. Mungkin anda pernah melihat dan mendengar dimana penguasa tiba-tiba menjadi “sejarawan” yang kemudian menulis sejarah sesuai dengan nalurinya. Misalnya, sejarah tentang PKI di Indonesia yang ditulis atas perintah penguasa Orde Baru. Serta buku-buku sejarah yang menjadi bacaan khusus di setiap lembaga pendidikan formal merupakan hasil konstruksi Orde Baru.
Terkait hal itu, penulis teringat dengan ungkapan Michel Foucault, bahwa sejarah menjadi sebuah kebenaran karena ditopang oleh kekuasaan. Faktor relasi kekuasaanlah yang membuat sejarah punya nilai kebenaran di masyarakat. Meskipun sebenarnya dalam proses penulisan sejarah tersebut tidak sesuai dengan fakta yang ada atau tidak objektif.
Penulisan Sejarah Mandar
Ketika membaca dan menelaah buku sejarah Mandar yang banyak ditulis oleh para sejarawan, kemungkinan besar anda akan menemukan adanya ketimpangan struktur penulisan di dalamnya. Juga aroma konstruksi penulis sangat terasa dalam alur penulisan sejarah mandar sehingga nampak seperti naskah sinetron dan film yang di dalamnya terdapat unsur pemeran yang bersifat oposisi biner (binary oposition), yakni pemeran protagonis dan antagonis. Dalam logika perfilman, protagonis adalah peran yang merepresentasikan sifat baik manusia yang tidak akan pernah berubah. Berbeda halnya dengan antagonis, yakni peran yang mewakili sifat buruk/jahat manusia yang selalu meneror manusia protagonis.
Subjektivisme penulisan sejarah mandar yang ditulis para sejarawan boleh jadi terpengaruh oleh teori strukturalisme-nya Claude Levi Straus., Yang dalam teorinya, kehidupan selalu dibagi menjadi dua dengan logika kontradiktif atau oposisi biner, seperti siang-malam, laki-laki-perempuan, hitam-putih, baik-jahat, dan seterusnya. Logika seperti inilah yang nampak memenuhi penulisan sejarah Mandar.
Buku utama yang menjadi rujukan para sejarawan dalam menulis sejarah mandar adalah lontara Mandar yang masih berbahasa Mandar. Sedangkan lontara Mandar kemungkinan besar ditulis oleh kalangan kerajaan Balanipa. Sehingga implikasinya, Balanipa digambarkan sebagai kerajaan besar yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Ditambah lagi buku sejarah yang ditulis oleh kolonialis Belanda (indolog). Penulisan tentang Mandar oleh Belanda berawal pada saat terjadinya proses penjajahan di Indonesia. Motif dari penulisan dan pengkajian tentang Mandar oleh Belanda tidak lain adalah kepentingan penjajahan demi menanamkan tangan kuasanya di tanah Mandar serta penguasaan terhadap sektor kekayaan alamnya.
Setelah pasca hengkangnya kolonislisme Belanda di Indonesia, termasuk di tanah Mandar. Muncul semacam mental baru dikalangan para sejarawan dan kaum intelektual di Indonesia, dimana buku-buku yang pernah ditulis oleh kolonialis Belanda menjadi rujukan utama oleh mereka. Hal yang sama juga terjadi di tanah Mandar, dimana banyak sejarawan yang mengkaji dan menulis kembali tentang Mandar dengan mengambil karya-karya Belanda sebagai referensi mereka.
Tidak salah lagi kalau penjajahan saat ini bukan lagi lewat kekuatan militer, akan tetapi model penjajahan lewat jalur ideologi dan kebudayaan, meminjam ungkapan Edward W. Said dalam bukunya, orientalism, yakni “kekuasaan lewat intelektual”. Sedangkan menurut Eman Hermawan, dulu kita mengenal namanya tentara Marsose, tentara Indonesia yang bekerja untuk kepentingan Belanda. Kalau sekarang kita mengenal intelektual Marsose yang secara ideologi dididik oleh bangsa luar (Barat) atau mafia barkeley, dalam pandangan David Ransom. Jadi, pada hakekatnya negara ini dijajah oleh orang-orang Indonesia sendiri.
Inilah bukti kalau hegemoni kolonialisme di Indonesia masih sangat kuat. Cara pandang dan karya-karya mereka sangat bias kolonial, termasuk dalam hal penulisan sejarah. Salah satu ciri-ciri mereka adalah ilmiah-positivistik, yakni kesesuaian antara ide dan realitas serta menggunakan pendekatan fisika dalam mengkaji kehidupan sosial masyarakat. Perspektif ini juga dipakai sebagai tolak ukur dalam menilai kebenaran sejarah. Sehingga kalau ada yang ditemukan sejarah yang tidak sesuai cara pandang tersebut, maka dianggap bukan bagian dari sejarah. Bagi mereka sejarah itu ilmiah yang harus dilepaskan dari anasir-anasir mitologi.
Sejarah tutur (lisan) yang berkembang kuat di masyarakat, khususnya pada masyarakat pinggiran juga dianggap bukan bagian dari sejarah. Apalagi sejarah tutur yang berkembang di masyarakat pinggiran banyak yang tidak mampu ditangkap oleh logika manusia. Kalaupun mereka melogikakannya terkadang hasilnya melenceng dari maksud yang sebenarnya.
Sejarawan Mandar misalnya, banyak mengabaikan sejarah tutur yang masih kuat di masyarakat Mandar. Mereka hanya merujuk sejarah teks yang telah dibakukan dan dibukukan oleh kelompok terntentu. Baginya, keabsahan sebuah karya sejarah jika ia lahir dari penuturan yang menyandang gelar sebagai “sejarawan”, bukan dari kaum pinggiran yang tidak pernah menempuh jenjang pendidikan formal.
Cara pandang seperti inilah yang melahirkan pemahaman “formalisme sejarah” yang mau tida mau akan mengeser nalar khas sejarah Mandar yang sedari dulu membentuk identitas kemandaran. Semakin sejarah kita (Mandar) dikonstruksi oleh paradigma luar, maka identitas kita sebagai orang Mandar juga semakin pudar dan bahkan hilang dalam hati sanubari kita.
Passokkorang dalam Sejarah Mandar
Diberbagai buku sejarah mandar banyak yang menyoal tentang kerajaan Passokorang seperti buku yang ditulis oleh H.M. Tanawali Azis Syah dengan judul, “Sejarah Mandar: Polmas, Majene, Mamuju”. Buku ini memiliki sub bab dengan judul “Passokkorang diserang”. Di dalam buku ini Passokkorang digambarkan sebagai kerajaan biadab yang suka mengacau pada kerajaan-kerajaan yang ada di tanah Mandar, khususnya kerajaan Balanipa. Raja Passokkorang juga dianggap sebagai raja pongah dan lalim yang dalam kehidupannya suka membantai orang.
Atas kebiadabannya itulah Passokkorang kemudian diserang oleh kerajaan Balanipa dibantu oleh kerajaan Alu’ dan para sekutu lainnya. Dari penyerangan itu Passokkorang mengalami kekalahan sehingga kerajaan dan termasuk rumah-rumah warga di bakar hingga hangus oleh bala tentara dari Balanipa. Warga yang tidak sempat melarikan diri juga dibantai secara sadis, termasuk isteri raja, Passangao, dibunuh oleh Puatta Bulo (Puanna di Bulo).
Takluknya kerajaan Passokkorang ketangan kerajaan Balanipa merupakan keberhasilan besar oleh pasukan Balanipa dan sekutunya, serta merupakan awal dari ketentraman warga mandar secara umum.
Sebenarnya Passokkorang adalah kerajaan besar yang memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas. Daerah kekuasaannya meliputi wilayah Mapilli dan Campalagian yang dikenal dengan sebutan “tallumbanua”. Sedangkan pusat kerajaannya terletak di wilayah Mapilli. Kerajaan ini besar karena ia mampu mengakomodasi dan menjalin kerja sama dengan berbagai etnis luar, seperti etnis Gowa dan Bone. Rajanya adalah manusia biasa yang memiliki kharismatik kuat dan sangat dihormati oleh rakyatnya sendiri, tidak sebagaimana yang diasumsikan oleh para sejarawan dan termasuk buku-buku sejarah Mandar yang menilai raja Passokkorang sebagai sosok yang sangat jahat dan lalim. Stigmatisasi jahat yang disematkan pada raja Passokkorang, tidak lain karena penulisan sejarah Mandar selama ini ditulis oleh kalangan kerajaan Balanipa.
Dengan kerajaan Passokkorang yang semakin hari semakin besar dan kuat secara ekonomi dan politik membuat kerajaan Balanipa dan kerajaan Alu’ merasa terancam eksistensinya, apalagi Passokorang merupakan kerajaan baru yang berdiri di tanah Mandar. Atas dasar itu, pembesar Balanipa dan para pembesar kerajaan Alu’ kemudian bekerja sama untuk menyusun strategi dalam rangka menyerang kerajaan Passokorang. Bagi tafsir penulis, penyerangan terhadap kerajaan Passokkorang adalah motif politik yang tidak lain merupakan kecemburuan sosial bagi para pembesar kerajaan Balanipa dan Alu’, jadi bukan karena Passokkorang adalah kerajaan pengacau sebagaimana yang di stigma oleh buku-buku sejarah Mandar selama ini.
SEJARAH ISLAM DI TANAH MANDAR
A. Masuknya agama Islam di Tanah Mandar
Pada abad ke-17 agama Islam telah masuk ke tanah mandar, saat itu pemerintahan di Wilayah Tanah Mandar masih berbentuk kerajaan. Diantaranya ada 2 kerajaan besar di Tanah Mandar pada masa itu yaitu kerajaan Binuang dan Kerajaan Balanipa. Awal penyebaran agama Islam di mulai dari daerah Kerajaan Binuang, yang disebarkan oleh seorang musafir bangsa arab yang berlabuh di kawasan Kerajaan Binuang
Dalam penyebaran agama Islam di Tanah Mandar saat itu tidak mendapatkan kesulitan berat, karena kebudayaan yang ada pada saat itu sudah berbau Islam. Sehingga agama Islam yang disebarkan diterima dengan baik oleh masyarakat terutama dari pihak kerajaan yang berkuasa pada saat itu. Berikut ini merupakan beberapa pendapat atau paham yang diperoleh dari beberapa nara sumber yang mengetahui mengenai sejarah masuknya agama Islam di Tanah Mandar :
Pendapat Abdullah ( Tokoh adat Balanipa )
Mengatakan bahwa asal mula penyebaran agama Islam datang dari Arab dan tiba di Wilayah Tanah Mandar Daerah Toma’ngalle, pada abad ke-17 (Toma’ngalle itu nama pada abad 17 dan sekarang diberi nama tammangalle ). Yang dibawah oleh seorang musafir yang bernama Kamaruddin Rahim.
Setelah beliau berada di Tamangalle, beliau menyebarkan agama Islam. Saat beliau melakukan shalat 5 ( lima ) waktu diatas batu yang berbentuk kasur, Beliau dilihat oleh warga sekitar dan melaporkan kejadian tersebut kepada raja Balanipa, kemudian beliau dijemput dan dibawa ke Kerajaan Balanipa. Arayang pada saat itu adalah Daetta’ Tummuanae (Raja ke-IV Kerajaan Balanipa). Ketika berada di wilayah Kerajaan Balanipa Beliau memutuskan untuk memilih tempat yang pedalaman agar lebih mudah untuk menyebarkan agama islam. Wilayah pada saat itu disebut Pallis, Raja dipallis pada saat itu Kannasunan. Dan pertama masuk islam pada saat itu adalah raja Pallis ( kannasunan ).
Pendapat Pundi (Tokoh Masyarakat Daerah Lambanan)
Mengatakan bahwa agama Islam mulanya dibawa oleh seorang berbangsa Arab dan tiba diwilayah mandar pada abad ke 17, Beliau bernama Kapar. Beliau menyebarkan agama islam di tanah mandar bersama dengan To Salama di daerah Goa (Yusuf). Perayaan hari besar Islam di Balanipa tidak akan terlaksana apabila Yusuf tidak ada. Hal ini dikarenakan saat itu Yusuf bertindak sebagai khatib di Balanipa dan Beliaulah yang mengajarkan tentang tata cara sebagai khatib.
Namun setelah beliau kembali ke Goa, Beliau digantikan oleh muridnya yaitu Sopu Gus Diris yang dikuatkan dengan diberikannya sebuah SK sebagai bukti pelimpahan wewenang sebagai khatib tanggal 5 Januari 1952 di Madjene.
Kapar (To Salama di Binuang) menyebarkan agama islam di Balanipa pada masa kepemimpinan Raja ke-IV, Tomatindo di Burio yang merupakan keturunan dari Torilaling (raja pertama). Islam berkembang luas di daerah Balanipa dikarenakan oleh adanya dukungan penuh dari raja yang berkuasa.
Penyebaran agama Islam pada masa itu terjadi secara berangsur-angsur dikarenakan sebuah kepercayaan baru yang datang pada suatu wilayah tentunya tidak akan langsung dapat diterima begitu saja. Sebelum Islam masuk, masyarakat Mandar menganut kepercayaan animisme yang banyak di pengaruhi oleh agama Budha dan Hindu dalam melakukan praktek-praktek penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan dalam penyelesaian perselisihan atau sengketa di Tanah Mandar, kerajaan Balanipa memiliki 2 (dua) lembaga hukum yaitu:
1. Lembaga 1(Balanipa)
Dimana bala bararti sebuah kandang dan nipa adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang dijadikan bahan dalam pembuatan kandang tempat pertaruangan duel tikam menikam tersebut (berkelahi dalam kandang sampai salah satunya tewas, dan tewas dinyatakan bersalah sedangkan yang hidup dinyatakan benar).
2. Lembaga II (merendam tangan di air mendidih)
Yaitu mereka yang bersengketa merendam tangan di air mendidih (siapa yang lebih dahulu mengangkat tangannya maka ia lah yang bersalah).
Secara psikologis, 2 (dua) lembaga peradilan tersebut adalah untuk mempermudah penetapan hukum. Namun setelah Islam masuk dan diterima baik oleh masyarakat, khususnya pihak Kerajaan. Hukum yang dijalankan pada masa itu berangsur-angsur berubah dengan aturan-aturan yang ada di ajaran Islam.
Pendapat Arifin (Penjaga Makam Syaeh Bil Ma’ruf)
Menyatakan bahwa Islam masuk ke Tanah Mandar pada Abad ke-17 dibawa oleh Rahim Kamaruddin (Syaek Bil Ma’ruf), yang berasal dari Arab, Beliau tiba di Kerajaan Binuang dengan satu tujuan menyebarkan Islam di Tanah Mandar.
Ketika Beliau melaksanakan shalat, ada penduduk yang melihat, dan langsung melaporkan kejadian tersebut kepada Raja. Rajapun menemui Syeik Bil Ma’ruf untuk menanyakan siapa, dari mana, dan tujuan beliau datang ke Binuang. Kemudian Syeik Bil Ma’ruf menjelaskan maksud dan tujuannya yaitu menyebarkan Agama Islam. Awalnya Raja tidak percaya dan meminta bukti-bukti.
Beberapa bukti yang beliau perlihatkan diantaranya :
1. Berjalan di atas air
2. Memegang bara api
3. Shalat di atas daun pisang
4. Berjalan di atas pohon kelapa
Setelah melihat bukti-bukti tersebut, Raja percaya dan memeluk agama Islam, kemudian diikuti oleh para pejabat dan seluruh masyarakat.
Dari tiga pendapat diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa pembawa agama islam di Tanah Mandar memiliki nama yang berbeda – beda dari tiap wilayah. Namun setelah dilakukan penelitian dapat disimpulkan bahwa pembawa agama Islam yang pertama kali ditujukan hanya pada satu orang yaitu tosalama’ di Binuang.
B. Penyebaran Islam di Mandar
Penyebaran Islam di Tanah Mandar di mulai pada abad ke-17, oleh seorang musyafir bangsa Arab yang bernama Kamaruddin Rahim (Syaek Bil Ma’ruf). Awal penyebarannya Beliau menyebarkan agama Islam di Wilayah Kerajaan Binuang, Ketika beliau melaksanakan sholat diatas batu yang berbentuk kasur, Beliau dilihat oleh warga sekitar dan melaporkan pada raja Binuang. Lalu beliau dijemput untuk dibawa ke Raja Binuang. Setelah menghadap raja beliau menjelaskan maksud dan tujuannya. Hal tersebut diterima baik oleh pihak kerajaan dan diikuti oleh seluruh masyarakat
Setelah Islam diterima di kerajaan Binuang, Kamaruddin Rahim (Syaek Bil Ma’ruf) memutuskan untuk melanjutkan perjalanan untuk menyebarkan agama Islam, diantaranya Majene dan Mamuju. Dalam perjalanan (berlayar), Beliau mendapatkan hambatan dilaut yaitu salah arah menuju ke Balanipa. sehingga beliau memberi nama tempat itu Salahbose’. Dan pada saat itu pula beliau memutuskan untuk singgah di Balanipa, diwilayah Toma’ngalle (Toma’ngalle itu nama pada abad 17 dan sekarang diberi nama tammangalle ) untuk menyebarkan agama Islam.
Ketika beliau melakukan sholat, diatas batu yang berbentuk kasur. Beliau dilihat oleh warga sekitar dan melaporkan pada raja Balanipa, lalu beliau dijemput untuk dibawa ke Balanipa. Arayang pada saat itu daetta’ tummuanae (raja ke empat )
Setelah tiba dikerajaan, beliau memutuskan untuk memilih tempat yang pedalaman agar lebih mudah untuk menyebarkan agama islam. wilayah pada saat itu disebut Pallis, Raja dipallis pada saat itu Kannasunan. Dan pertama masuk islam pada saat itu adalah raja Pallis ( kannasunan ).
Pada awal beliau melakukan syiar Islam di Balanipa beliau tidak langsung mengajarkan Islam pada inti pokoknya yaitu mengenai tata cara shalat. Melainkan dengan menjelaskan tahap awal, mulai dari tata cara memberihkan diri, lalu berwhudu, kemudian tata cara shalat. Pada masa penyebaran Islam di Balanipa tidak begitu mendapat hambatan karena prilaku masyarakat setempat sudah mencerminkan prilaku Islam, Selain itu juga Kamaruddin Rahim memang berperilaku baik dan sopan saat berkunjung dan bersilaturahmi sehingga langsung diterima oleh masyarakat setempat.
Proses penyebaran Islam banyak dilakukan dengan cara mengislamkan kebiasaan-kebiasaan daaerah setempat contohnya tradisi Sayyang Patu’du yaitu kuda yang menari, pertama kali digunakan oleh Raja dan dijadikan daya tarik untuk masyarakat khususnya anak-anak untuk mempelajari agama Islam terutama dalam mempelajari Al-Qur’an.
Setelah Islam menyebar di Balanipa, Beliau kembali ke Binuang dengan alasan karena tugas beliau telah selesai, dan setelah beberapa hari kemudian beliau wafat. Sebelum beliau dimakamkan terjadi peristiwa hujan lebat selama tiga hari tiga malam. Saat itu kalangan kerajaan sangat pusing memikirkan letak pemakaman Syaek Bil Ma’ruf. Banyak yang mengusulkan tempat pemakaman beliau, tetapi setelah disebutkan salah satu tempat yaitu daerah Ammasangan hujan seketika berhenti. Kemudian Raja memutuskan untuk memakamkan jasad to Salama di Ammasangan yang sekarang bernama Pulau Salama.
Dibawa ini adalah dokumentasi tosalama’ di Binuang (Syaek Bil Ma’ruf) atau dikenal Kamaruddin Rahim :
A. Perkembangan Agama Islam di Mandar
Islam masuk ke Mandar dengan jalan damai pada abat 17 masehi, pengaruh Islam mengalami perkembangan sekitar pada abad 18 masehi. Penyebaran islam dilakukan dengan didahului para pemimpin kerajaan yang ada ditanah Mandar. Dimulai dari ajaran membersikan diri sampai kepada tatanan atau aturan dalam beribadah.
Masuknya Islam ditanah Mandar banyak mempengaruhi kebudayaan lokal. Dalam bidang aturan dalam kepemimpinan, kehidupan, dan masih banyak lagi. Berikut ini beberapa contoh perkembangan islam di berbagai kerajaan yang ada di Tanah Mandar :
1. Pada masa kerajaan Balanipa
Kerajaan ini terletak di Kabupaaten Polman, Sulawesi Barat. Kerajaan ini adalah kerajaan yang terbesar yang ada di Tanah Mandar, yang mempunyai pengaruh yang sangat besar di Tanah Mandar. Dan sistem pemerintahan di Balanipa pada saat itu dilakukan secara turun temurun atau dari genersi ke generasi.
Perkembangan agama Islam pada masa kepemimpinan Raja ke-4 (empat), memanfaatkan pemerintahannya untuk mengembangkan agama islam, dengan ditandai dengan berdirinya sebuah tempat ibadah (mesjid) yang pada awal mulahnya dikenal Langgar (yang dikenal di Sumatra dengan kata surau) dimana digunakan sebagai tempat mengajar ajaran agama Islam. Masjid yang pertama di Tanah Mandar terletak di Pallis atau yang dikenal saat ini sebagai Desa Lembang dan masjid yang kedua didirikan di Desa Tangga – taangga Kecamatan Tinambung, yang sekarang lebih dikenal sebagai masjid Raja.
Masjid kedua ini berdiri hasil dari perpindahan mesjid pertama dengan membawa empat tiang dan meninggalkan/menyisahkan kepala mesjid yang dalam bahasa daerah disebut Coppo’ masigi.
2. Pada Masa Kerajaan Binuang
Kerajaan ini terletak di kabupaaten Polman, sulawesi barat atau yang dekat dengan perbatasan Sul – Sel . Kerajaan ini adalah kerajaan yang nomor 2 terbesar yang ada di Mandar, yang mempunyai kerjasama dengan Kerajaan Balanipa, baik dalam perekonomian, budaya, dan lain – lain. Dan sistem pemerintahan di Binuang pada saat itu dilakukan secara turun temurun atau dari genersi ke generasi.
Dikerajaan Binuang adalah tempat dimana wafatnya Syaek Bil Ma’ruf (Kamaluddin rahim). Pada waktu itu makam beliau dijadikan tempat ziarah para umat muslim. Ketika pada abad 18 masehi, yang berkuasa di Goa (Sul – Sel) adalah islam Muhammadia. Islam Muhammadia ini tidak sepakat makam Kamaluddin Rahim (Tosalama’ Binuang) dijadikan tempat siarah. Lalu dia mengambil tindakan untuk menghancurkan makam tersebut, dengan membuang batu – batu nisannya ke laut. Setelah selesai dibuang batu nisan itu kembali posisi semula. Jadi makam itu tidak diganggu lagi hingga saat ini.
Sabtu, 19 Desember 2009
SRIKANDI TANAH MANDAR
Pejuang-pejuang Wanita Mandar seperti : Puang Depu Arayang Balanipa yang ke-53, Haji Maemunah Pance, St. Jala’ Hamzah, Ruaidah Rauf, Rosmiani Achmad, Haji Habibah Pawannari, Haji Ummihani Salam bukanlah barang baru di Mandar.
Di muka daripada pejuang-pejuang tersebut di atas terdapat : I Latta permaisuri Arayang Pamboang Ajuara, dan Haji Jamilah isteri Kaco Puang Ammana I Pattolawali Mara’dia Malolo Pamboang dan Banggae. Kedua Srikandi ini tetap mendampingi suaminya dalam keadaan aman maupun dalam keadaan perang bahkan sampai ke pengasingan. Keduanya sangat taat beragama ini dibuktikan dengan judul Haji yang telah berhasil dijunjungnya.
Selama dalam perang dan perjuangan melawan Belanda, tidak satupun kata yang diucapkan yang bernada penyesalan untuk merendahkan moral dan semangat suami dan pasukannya. Mereka melepaskan suaminya ke medan pertempuran dengan pesanan :
Ingat terus kepada Tuhan Yang Maha Esa
Besarkan Moral dirimu dan pasukanmu.
Kematianmu dan kematian pasukanmu adalah kematian yang paling mulia daripada segala macam kematian.
Syahid bagimu karena lawanmu adalah orang-orang kafir dan anti Tuhan.
Sebelum goresan ini di akhiri, Penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) akan mengungkit sedikit bunyi komando salah seorang Wanita Pejuang 45 yang tersebut di atas dalam bahasa Mandar sebagai berikut “Moa’ namunduro-o mie’ Tommuane, alai mai lasomu” artinya “Jika laki-laki akan mundur dalam perjuangan ini, lebih baik kelaki-lakianmu serahkan kepada kami” Komando ini penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) yang termasuk pengikut beliau masih sempat mendengar dari mulut beliau sendiri. Jelasnya; Perjuangan kita belum selesai.
Hj. Puang Depu Arayang Balanipa gelar Ibu Agung
Haji Puang Depu Arayang Balanipa yang dikenal juga dalam kalangan masyarakat Mandar sebagai Ibu Agung. Beliau telah mendapat Anugerah Tertinggi dari Negara Republik Indonesia yaitu BINTANG MAHA PUTRA TINGKAT IV (informasi dari saudara H. Masdar Pasmar). Kepada wanita khususnya, agar meneladani semangat yang dimiliki oleh pejuang kita di atas demi melaksanakan tugas pembangunan yang dibebankan Negara kepadamu.
(Sumber : Buku MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS, oleh ANDI SYAIFUL SINRANG, Penerbit Group “Tipalayo” Polemaju Mandar, Tahun 1980, halaman 47 s/d 48)
ssss
PUTRA MANDAR
NUSANTARA
SERIKAT PEKERJA SENI DAN BUDAYA
Kamis, 31 Mei 2012
Todilaling Peradaban Mandar Yang Terpendam
Oleh : Suryananda
Membincang Balanipa adalah membincang sosok-sosok para aktor sejarah yang ada di dalamnya. Dan menilik sejarah Balanipa, tak bijak jika abai pada sosok I Manyambungi To dilaling.
Tak sayak lagi, sosok I Manyambungi To dilaling bagi masyarakat mandar adalah nama yang sangat familiar, kendati kini begitu banyak generasi Mandar yang tidak lagi mengenal lekuk sejarahnya, termasuk sosok I Mayambungi To Dilaling ini.
I Manyambungi To Dilaling ditaksir lahir pada abad XV di Lemo Desa pendulangan yang sekarang tergabung dalam wilayah administratif Kecamatan Limboro, Ia adalah putra To Makaka di Napo, Puang Digandrang yang menikah dengan Weappas putri dari I Taurraurra. Sedangkan I Taurraurra sendiri adalah anak dari Ta’bittoeng, anak To Pallik atau To Makaka di Lemo.
To Makaka adalah sebutan dalam bagi golongan menengah strata social mandar pada abad XV yang merupakan hasil akulturasi dari kehidupan sosial dari Tanah Toraja. Kehidupan pada masa itu mengenai tiga tingkatan strata berdasarkan kekuasaan dan kekayaan yaitu puang atau mara’dia (Mandar), mo’dika (Tanah Toraja) merupakan strata tertinggi. Yakni mereka yang di anggap sebagai To Manurung atau keturunannya.
Adapun versi tentang to manurung yaitu orang yang turun dari Tomala’bi dan itulah To Manurung sebagai titisan dewa, meskipun aspek lain menganggap To Manurung adalah To Maka atau orang yang pantas, To Mala atau oarng yang mampu dan To Manrang atau orang yang pintar dan berwibawah.
Menurut adat To Makaka (kepala suku) pada masa itu, anak yang dilahirkan pada masa orang tuanya tengah menjabat atau memangku jabatan sebagai pemimpin, maka anak itu berhak mewarisi kedudukan orang tuanya. Adapun Puang Digandrang salah satunya ayah dari I Mayambungi salah satu To Makaka yang ada di Mandar pada masa itu.
Dari beberapa penutur sejarah, ditemukan sebuah kenyataan bahwa, I manyambungi dipahami lahir bersamaan adanya sebuah keris. Sehingga sebelum I mayambungi dikenal, nama yang acap melekat pada namanya adalah adalah To Rindu Gayang atau kembar keris. Selain itu sosoknya juga sebelumnya petrnah dikenal To Patula-tula yaitu pembawa keramat sebab tak ada teman bermainnya yang bisa hidup jika bermain dengannya. Utamannya saat dirinya meneriaki atau berang dan marah kepada temannya. Karenanya sosok satu ini acap pula dikenal sebagai To Mapai’ Lila atau orang yang pahit lidahnya.
Sebelum menjabat sebagai Mara’dia pertama di Balanipa I Mayambungi sempat menjadi panglima perang di kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matenre (Tomapa’risi’ Kallona). Awal kedatangan I Mayambungi di Gowa yaitu pada masa pemerintahan Karaeng Batara Gowa sebagai raja VII.
Hal itu dilatar belakangi oleh hubungan perdagangan antar kerajaan Gowa dengan Tomakaka-tomakaka yang ada di Mandar, termasuk To Makaka Napo yang terjalin dengan baik. Dalam sejarahnya, I Mayambungi menginjakkan kakinya ke Gowa pada usia yang masih kanak-kanak. Alasan kedatangannya di Butta (tanah) Gowa di upayakan sebagai pengasingan dirinya atas hukuman yang di jalaninya dan di jatuhkan kepadanya oleh To Makaka di Appe Banua Kaiyyang (Napo, Samasundu, Mosso dan Tora-torang) setelah membunuh saudara sepupunya sendiri.
Di gowa I Mayambungi lebih di kenal dengan sebutan I Billa Billami, yang kemudian menikah dengan Karaeng Surya Putri dari Karaeng Sandrabone Saudara I Reasi (putri mandar) yang merupakan istri raja Gowa VII Karaeng Batara Gowa. Dari perkawinanya itu, lahirlah To Mepayung sebagai putra sulung di susul oleh dengan kelahiran tiga orang putri lainnya.
Kesyuksesan I Mayambungi sebagai panglima perang di kerajaan Gowa tersohor sampai ke Lita’ (tanah) Mandar setelah berhasil memimpin pasukan kerajan gowa menaklukkan kerajaan Lohe dan bahkan Pariaman (Sumatra Barat) yang ternasuk kerajaan terkuat pada masa itu. Gong dari lohe atau yang dikenal sebagai Ta’bilohe dan keris Pattarapang raja Pariaman yang berhasil di rebut menjadi kemenangan yang di berikan oleh Daeng Matenre pada I Mayambungi. Kenyataan ini pulalalh kemudianyang membuat sarung stera Mandar kerap kali digunakan pada setiap ritual atau upacara adat di Sumatera. Hal mana diyakini sebagai salah satu bukti kemengan I Manyambungi melalui pos penaklukan kerajan Gowa.
Pada masa yang sama di Mandar terjadi perseteruan antara Appe’ Banua Kaiyyang dengan Passokkorang (biring lembang, renggeang, manu-manukang salarri). Para To Makaka dari Appe Banua Kaiyyang bersepakat mengutus Pappuangan Mosso menjemput I Mayambungi di Gowa. Nama besar I Mayambungi diharapkan dapat membantu Appe Banua Kaiyyang meninggalkan Gowa menuju Napo.
Konon sepulang dari Gowa masyarakat Napo termasuk Puang Digandrang menyambut kedatangan rombongan I Mayambungi di Labuang Palippis soreang setelah menempuh perjalan selama hampir satu bulan melalui laut dengan menggunakan lopi (perahu). Dan inilah awal disandangkan gelar Todilaling (orang yang digotong)
Dengan kembalinya I Manyambungi, Appe Banua Kaiyyang menyatukan diri menjadi kerajaan yang lebih besar selanjutnya kerajaan ini di beri nama kerajaan Balanipa (arajang balanipa). Para To Makaka Appe Banua Kaiyyang sepakat mengangkat sebagai Mara’dia. Sebagai Mara’dia I Mayambungi dibantu Puang Dipoyosan, Puang Soro Pa’bicara Kaiyyang yang pertama beserta Puang Puatta Isaragiang, turunan dari To Kanacca’ Raja Alu untuk menyusun strategi menaklukkan Passokkorang di bawah kepemimpinan Takkai’ Bassi dibantu Puatta Dibulo turunan Toajoan.
Siasat yang di lancarkan I Manyambungi dengan mengutus Puatta Saragiang bersama Puatta Dibulo berhasil menyusup ke Passokkorang dan berhasil membantu pasukan Balanipa yang akhirnya memukul mundur pasukan Passokkorang. Passokkorang mengakui kekuasaan Balanipa melalui permintaan damai seusai perang dan pembumi hangusan Passokkorang.
Kerajaan Balanipa sudah mulai mengalami pembenahan birokrasi setelah I Manyambungi mengutus keponakan Puang Dipoyosan meminta adat konstitusi dari kerajaan Gowa. Yakni adat gowa yang ditulis dalam bentuk lontar yang selanjutnya menghapus adat lama Balanipa satu diantaranya berupa adat bala batu (pagar batu) atau bala tau (yang terletak di desa tammejara nama sekarang yang di kecamatan balanipa).
Sebuah adat berupa system peradilan yang masih menggunakn hukum rimba yang kuat yang menang. Atau yang benar yang menang atau hidup dan sebaliknya yang kalah akan mati atau bersalah jika ada perkara oleh dua kubu yang saling berseteru. Dengan sistem sigayang (baku tikam) di dalam satu sarung. Hal ini hampir serupa dengan kerajaan Romawi Kuno. Hanya saja, di Mandar tampaknya masih jauh mengerikan karena sigayang (baku tikam menggunakan keris) dalam satu sarung. Sedangkan perbedaan di Romawi Kuno bertarung dengan menunggani kuda berkodar. Sehingga masi ada kemungkinan untuk menghindar dan melarikan diri.
Terlepas dari Romawi kita kembali ke Mandar. Penghapusang aturan lama di Mandar ini menandai berlakunya konstitusi baru yang menjadi pedoman dan sumber inspirasi dalam penyelenggaran pemerintahan Balanipa.
I Manyambungi wafat setelah istri keduanya melahirkan enam orang anak dan semuanya adalah laki-laki. Upacara pemakaman yang dilaksanakan keluarga besar dan rakyat Balanipa saat wafatnya berlangsung amat sakral. Dengan mengikut sertakan semua dayang-dayang atau pelayan dan pengawal setianya hidup-hidup diiringi alunan musik gandrang (gendang) dan Gong Bilohe.
Dimana setelah dikebumikan bersama-sama, sesuai penutur sejarah, warga disekitar tempat pemakaman I Manyambungi itu masih dapat menguping suara musik dan gerakan tarian dari dalam liang lahat hingga hari keempat puluh. Hingga kini diatas tempat pemakaman I Mayambungi itu tumbuh sebuah pohon besar (ponna lambe).
Alhasil, kisah dan sejarah Todilaling bukan saja sebuah sejarah kisah lokal yang di persempit di wilayah Balanipa Mandar saja. Sebab kiprah I Manyambungi Todilaling tidak hanya di Balanipa saja, tetapi juga di Gowa bahkan sampai di luar, yakni Jawa dan Sumatera. Sekaligus ini menjadi penanda besar betapa sejarah sosok I Manyambungi yang telah mendedikasikan hidupnya pada dua sistem kerajaan besar yaitu Gowa dan Balanipa menjadi sebuah sejarah besar dan sekaligus salah artefak sejarah yang kini dapat ditemui pada situs besar di Mandar. Dan padanya perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam.
SITUS MAKAM TODILALING
Kini situs sejarah makam Imayambungi Todilaling yang luas sekitar 50 x 40 meter persegi ini berbatasan dengan Gunung Tammengundur di sebelah Timur, Gunung Mengnganga di Utara, Tandassura di Barat dan Pandewulawang di Selatan.
Setiap bulannya objek wisata sejarah ini dikunjungi sekitar 300 pengunjung setiap bulannya. Pengunjung mulai dari yang melakukan ziarah, nazar hingga penelitian dan bukan hanya dari wilayah Mandar-Sulbar tetapi juga tidak sedikit dari luar Sulbar, seperti Makassar, Gowa, Kalimantan, Malaysia, Parepare dan sebagian lainnya dari Jawa dan Sumatra. (s)
Suryananda :
Penggagas APPBM (Aliansi Pemuda Pecinta Budaya Mandar). Kini tercatat sebagai Mahasiswa di Universitas Al Asyariah Mandar
isi http://suryabalanipamandar.blogspot.com dapat dikutip dengan menyebutkan sumber dan setelah diperkenankan oleh redaksi media online ini
Sekilas Sejarah Mandar
Jumat, 05 Agustus 2011 06:19
Persepsi tentang Mandar adalah nama suatu kerajaan, merupakan persepsi yang keliru karena sepanjang sejarah tidak pernah ada kerajaan Mandar yang rajanya disebut Raja Mandar dengan wilayah kekuasaan seluruh wilayah Mandar. Yang ada adalah raja-raja di Mandar yang berdaulat dan berkuasa penuh di wilayah kerajaannya masing-masing.
Persekutuan (konfederasi) dari ke-14 kerajaan yang pernah ada di kawasan Barat Sulawesi-lah yang membentuk Tanah Mandar. Tujuh kerajaan di wilayah pantai yang lebih dikenal dengan sebutan Pitu Baqbana Binanga (tujuh muara sungai) dan tujuh kerajaan di wilayah pegunungan yang lebih dikenal dengan nama Pitu Ulunna Salu (tujuh hulu sungai).
(Klik disini untuk melihat daftar kerajaan-kerajaan di Mandar)
PITU BABANA BINANGA
Persekutuan ini diiprakarsai oleh Raja (Arayang) Balanipa II, Billabillami dengan gelar Tomepayung. Kemudian diperkuat kembali oleh Raja (Arayang) Balanipa ke VI, Todziboseang dalam Assitalliangan (perjanjian) Tammejarra ke-2. Para leluhur kerajaan yang ada di Pitu Babana Binanga bersepakat menetapkan Kerajaan Balanipa sebagai ama (Bapak), dan Kerajaan Sendana sebagai indo (Ibu), sementara kerajaan lainnya sebagai anak.
Kerajaan Balanipa dalam posisinya sebagai ama (Bapak) merupakan posisi tertinggi, manakala terjadi sengketa dan perseteruan eksternal maupun internal yang terjadi dan tidak bisa diselesaikan, terlebih dahulu akan dihadapkan ke Kerajaan Sendana (indo). Manakala tak sempat terselesaikan di tangan Kerajaan Sendana (indo/Ibu), maka masalah akan dilanjutkan ke Kerajaan Balanipa (ama/bapak).
Apabila di tangan Kerajaan Balanipa suatu masalah dipastikan selesai, dan harus diterima secara lapang dada oleh para pihak (anak) yang bersengketa. Sebab jika tidak demikian maka akan di lanjutkan lewat hukum adat Bala Batu atau Bala Tau, adalah sebuah tempat penyelesaian perkara di Balanipa Mandar yakni lewat pertarungan satu lawan satu saling menikam dalam satu arena (diadu) sampai salah satu pihak meninggal.
Hukum adat seperti ini dinamakan Adat Mate (Hukum Adat Mati) yang tidak lepas dari nilai rasa Siri’, inilah yang membuat orang-orang Mandar pada masa dahulu terkenal akan keberaniannya, jauh sebelum Persekutuan Pitu Babana Binanga (PBB) terbentuk.
Seiring dengan perkembangan di Tanah Mandar dan masuknya ajaran Islam hukum ini perlahan pudar, tetapi orang-orang Mandar sampai saat ini masih tetap berpegang teguh dan mempertahankan kebudayaan SIRI’ nya.
PITU ULUNNA SALU
Apabila kerajaan di daerah Pantai Mandar membentuk persekutan yang lebih dikenal Pitu Baqbana Binanga (tujuh muara sungai), kerajaan-kerajaan di daerah Pegunungan Mandar-pun juga membentuk persekutuan yang lebih dikenal Pitu Ulunna Salu (tujuh hulu sungai).
Ada perbedaan dalam menjalankan roda pemerintahan di Persekutuan ini, yaitu berubahnya Adat Mate menjadi Adat Tuo (hukum hidup).
Untuk lebih lanjut tentang Pitu Ulunna Salu silahkan baca artikel PITU ULUNNA SALU, ADA TUO.
Mesjid Salabose, Jejak Peradaban Islam di Tanah Mandar yang Tetap Lestari
Mesjid tertua Salabose di Majene Sulawesi barat hingga kini masih berdiri kokoh. Mesjid yang dibangun sejak ratusan tahun lalu oleh tokoh penyebar Islam pertama di Majene Syeh Abdul Manna bersama pengikutnya menjadi jejak sejarah peradaban Islam di tanah mandar. Tak Mesjid ini tetap dipertahankan keutuhannya sebagai benda purbakala. Mesjid yang berdiri di puncak bukit Salabose ini juga terdapat benda purbakala lainnya yakni Al Quran tertua yang ditulis tangan dengan tinta dari pohon kayu. serta sebuah makam Syeh Abdul mannan yang tetap dilestarikan warga dan pemerintah.
Menurut catatan sejarah, Masjid Salabose tersebut dibangun pada abad ke 16 oleh syekh Abdul mannan, tokoh penyebar Islam pertama di Sulawesi barat bersama para pengikutnya. Masjid yang dibangun di atas puncak Salabose merupakan mesjid pertama di Majene dan Sulawesi barat. Di Tempat inilah konon Syeh Abdul mannan mulai menyebarkan islam kepada masyarakat Majene dan sulawsi barat yang kalah itu masih hidup dengan kepercayaan animisme.
Meski beberapa bagian mesjid ini telah direnovasi karena lapuk dimakan usia namun sejumlah ornamen penting lainnya seperti kubah dan dinding yang terbuat dari batu yang konon perekatnya adalah telur, hingga kini tampak masih kokoh dan utuh. Dinding kuba misalnya hingga kini masih tetap dipertahankan oleh masyarakat setempat. Mesjid ini sendiri tergolong sebagai salah satu mesjid purbakala yang tetap dijaga pemerintah.
Meski penyebaran islam di zaman syeh abdul manna yang diberi gelar Tosalamaq di Salabose, hanya berlangsung puluhan tahun namun jumlah pengikut Islam di majene dan sulawesi barat hingga hari ini mencapai 80 persen. Di Majene sendiri 83 persen penduduknya adalah pemeluk Islamn.
Jejak-jejak sejarah yang masih dapat ditemui tentang Syekh Abdul Manan, selain Al Quran tertua yang ditulis tangan dengan tinta poho pada abad 16 masehi, tak jauh dari mesjid Salabose terdapat makam syeh Abdul manna di Salabose, Kelurahan Pangali-Ali, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat, yang menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.
Imam mesjid Salabose, Muhammad Gaus, yang juga salah satu keturunan syeh Abdul mannan menyebutkan sejumlah peniggalan sejarah Islam di Majene dan Sulawesi barat seperti Al Quran tertua karya tulisan tangan Syeh Abdul mannan abad 16 lalu, termasuk mesjid tertua dan makan syeh abdul manna hingga kini tetap dilestarikan oleh masyarakat majene sebagai salah satu benda sejarah khusUSnya sejarah peradaban Islam di Majene hingga berkembang luas ke Sulawesi barat hingga hari ini. “Mesjid ini tetap kita jaga keutuhannya meski beberapa nagian lainnya seperti atap sudah diganti dnegan seng karena lapuk dimakan usia. Selain mesjid juga ada Al Quran tertua karya Syeh Abdul manna dan makamnya tetap dijaga utuh oleh warga dan pemerintah setempat sebagai situs sejarah,”ujar Muhammad Gaus.
Makam Syekh Abdul Manan diperkirakan sudah berusia ratusan tahun. Kompleks Makam Syekh Abdul Manan dibangun di daerah perbukitan, tepatnya di tempat yang dikenal dengan nama Puncak Poralle Salabose. Total luas area yang digunakan untuk membangun kompleks makam Syekh
Abdul Manan adalah sekitar 1 hektar.
Makam Syekh Abdul Manan masih sering dikunjungi oleh para peziarah yang datang dari wilayah Majene, bahkan juga dari luar wilayah Provinsi Sulawesi Barat. Makam Syekh Abdul Manan akan semakin dipadati pengunjung menjelang datangnya bulan suci Ramadhan dan pada saat-saat
tertentu, misalnya ketika ada perayaan hari-hari besar agama Islam
Diposkan oleh Edy Junaedi di Senin, Agustus 06, 2012
Membongkar “Narasi” Keislaman di Majene
Sumber: Google.com
“Sekujur tubuh” tulisan ini, pada dasarnya bersandar pada dua pendekatan, Hermeneutika dan Post kolonial. Yang dimaksud dengan pendekatan Hermeneutika berarti sebuah pola pembacaan sejarah yang melibatkan tiga unsur, yaitu (1) Pembuat atau pelaku sejarah, (2) Fakta sejarah, serta (3) Pembaca atau penyimak sejarah.
Dengan kata lain, bahwa dengan menggunakan teori Hermeneutika, sejarah akan dianggap valid dan akurat ketika tiga unsur tersebut memiliki kesepahaman yang sama. Dapat pula dipahami bahwa dengan pendekatan ini, maka pembentukan sebuah corak sejarah sangat ditentukan oleh “siapa penulis dan pengendali” sejarah tersebut.
Atau bahkan lebih jauh dapat dilacak sejauhmana kedekatan “penulis” dengan berbagai sumber sejarah yang dimilikinya. Dan pada posisi ini, saya berada dalam lingkaran ketiga, yakni pembaca atau penyimak sejarah masa silam, untuk sejarah masa depan setelah penggalian secara kritis.
Pendekatan kedua adalah dengan meminjam alur berfikir salah seorang anggota KOMNASHAM, Ahmad Baso, melalui teori Pos kolonialnya. Pendekatan ini tidak sepenuhnya melihat sejarah masa silam secara runtut, namun lebih menitikberatkan pada jejak-jejak sejarah yang menjadi bias sosial di masa kini.
Tidak kalah pentingnya, penulis merasa “terusik” dengan beberapa penuturan sejarah keislaman yang terungkap pada edisi khusus Ramadhan “Tabloid MAMMIS”, sebuah garapan dokumentasi, khas pemerintah Kabupaten Majene.
Tentu, wacana ini cukup hangat untuk menjadi sebuah perbincangan khusus. Apalagi, ketika berbicara tentang persoalan sejarah, sama halnya dengan membangunkan seseorang dari tidur pulasnya.
Mendudukkan Sejarah
Sebelum lebih lanjut membincang masalah sejarah, ada baiknya kita menyimak pendangan salah seorang sejarawan muslim, Azyumardi Azra_ dalam pengantar karya monumental Mahmoud Ayyoub_, sebagai pondasi awal terhadap pembacaan sejarah kita secara lebih lanjut, sebagai berikut:
“Sejarah, sebagaimana bunyi sebuah frasa, berarti “ditemukan kembali” (recovered), “dikenang (remembered)”, dan diciptakan (invanted). Menurut frasa ini, dalam konteks pertama, secara tersirat bahwa sejarah bisa dan bahkan sering “hilang” (lost history); sehingga pada gilirannya harus ditemukan kembali. Tetapi sejarah yang ditemukan kembali jelas tidak sama dengan apa yang terjadi sesungguhnya, atau secara aktual terjadi dalam perjalanan waktu. Bahkan sangat mungkin, terdapat disparitas (jarak, pen) yang tajam antara sejarah aktual_yang sebenarnya tidak pernah bisa ditemukan secara utuh_dengan Sejarah yang ditemukan kembali itu.……… Celakanya, disparitas itu semakin tajam ketika sejarah yang ditemukan kembali itu_ karena kepentingan-kepentingan “ideologis”_ mengalami proses idealisasi dan bahkan mitologisasi, yang pada gilirannya akan menghasilkan legenda. Dan mitos itu sering diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Akhirnya, sejarah semacam itu merasuk dan menguasai kesadaran kolektif (collective consciousness) satu kelompok dengan bangsa tertentu.
(Mahmoud M.Ayoub, The crisis of Muslim history, Religion and politic in early Islam 2004)
Ada hal yang kadang terlupa ketika membahas masalah sejarah masuknya Islam di Tanah Mandar lama, Majene. Yakni mengenai peran sosial para Ulama, Ustadz, ataupun elit agama Islam lainnya dalam pergumulannya dengan para pemilik tahta kerajaan pada waktu silam.
Tentu sangat berbeda kisahnya dengan kasus awal mula pelaksanaan Shalat Jumat di kerajaan Tallo, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, sebagai simbol awal pergerakan masuknya Islam di kerajaan Gowa. Karena dengan cerita tersebut, maka kesimpulan sejarahnya_ menurut Supa Atha’na_ adalah, bahwa kerajaan Tallo merupakan cikal bakal terbentuknya pola pembinaan keagamaan dengan menggunakan sistem yuridisasi (baca: pemaksaan).
Dengan pola demikian, maka standar kepatuhan beragama akan sangat ditentukan oleh sejauhmana kebijakan Sang Raja (Karaeng) dalam mengelola rakyatnya menjadi orang shaleh (menurut versi dari Sang Raja).
Berbeda dengan narasi yang berkembang di Majene pada masa silam. Konon, di tanah mandar lama ini, sebelumnya telah terjadi semacam Kontrak sosial (meminjam Istilah JJ. Roesseau) tak tertulis antara pemangku adat dengan para Ulama. Terdapat sebuah “kesepakatan politik” yang terjadi antar keduanya.
Kesepakatan tersebut berupa: “Pemangku adat memiliki kewenangan melaksanakan sistem pemerintahan dengan cara yang baik dan benar, sedangkan para ulama berada pada posisi sebagai inspirator dan lokomotif pencerahan nalar dan intuisi (agama)”.
Dengan demikian, pola pembinaan keagamaan berlangsung secara otonom tanpa adanya intervensi politis dari elemen pemangku tahta, serta dalam proses syiar Islam, tidak melalui mekanisme yuridis, namun pada pola pendekatan yang mengutamakan arus kultural (bil hikmah wa al mauidzhah al-hasanah).
Yang menarik, jabatan pemangku adat di Majene pada waktu itu, tidaklah dengan serta-merta memosisikan diri sebagai pihak yang bebas memutuskan setiap perkara, melainkan harus berdasarkan hasil konsolidasi dengan para ulama. Karena itu, pada status sosial, posisi ulama berada di atas domain pemangku tahta alias Maraqdia.
Implikasi dari posisi tersebut berdampak pada proses komunikasi sehari-hari. Misalnya, seorang ulama boleh tidak menyapa Mara’dia sebagai gelar khusus. Cukup dengan panggilan, “Ana’u” (anakku). Sebaliknya, Mara’dia harus menyapa ulama dengan sebutan Pua’ (Ayah, orang tua).
Dengan demikian, jelaslah, bahwa hubungan antara Panrita (Ulama) dengan Mara’dia (Pemangku adat) ialah dengan memposisikan Ulama sebagai sosok terhormat pada sebuah strata sosial yang merupakan bagian penting dalam tata krama budaya masyarakat Mandar (Majene).
Sayangnya, sejarah seperti di atas kurang terungkap karena dianggap tidak memiliki data tertulis atau dalam istilah lokal disebut jori’. Padahal ada sebuah pola khas dalam penyampaian sejarah di Tanah Mandar.
Penulis lebih senang menyebutnya sebagai pola “Sabda”. Pola Sabda ini tidak dengan menggunakan dokumen tertulis, melainkan lewat penuturan secara turun-temurun terhadap pihak yang dianggap layak menyimpan “Pappasang”.
Andai saja sebuah penelusuran sejarah hanya terpaku pada dokumen tertulis semata, maka sudah dipastikan akan banyak peristiwa sejarah mersti ditemukan kembali, walau telah ada dokumen yang terlewatkan, terhapus, bahkan termanipulasi.
Di sini dapat dipahami bahwa jika pola ini dilestarikan dengan baik dalam konteks kekinian, maka sudah semestinya pelibatan kalangan Ulama dalam setiap persoalan kemasyarakatan, senantiasa didasarkan pada pola yang telah ditorehkan oleh sejarah masa silam. Bukan dengan memposisikan ulama layaknya sebagai paranormal yang hanya dibutuhkan ketika bencana dan marabahaya datang silih berganti.
Berbeda dengan sajian yang ditampilkan oleh Tabloid MAMMIS. Tampak beberapa narasumber melakukan kesimpulan, atau tepatnya keputusan sejarah dengan menjadikan pihak pemegang tahta terkesan dominan dibandingkan dengan para ulama dalam proses masuknya Islam di Majene di masa silam. Akibat dari penuturan demikian, ditariklah sebuah kesimpulan yang gegabah bahwa “Peran Kerajaan Mengkondisikan Islam Masuk Majene”.
Bagi saya, ini merupakan sebuah kesimpulan yang sesat pikir dan berbahaya. Karena dapat menjadi bias sosial masa kini, yakni menjadikan dalil disilahkannya kekuasaan dengan segala elemennya, “mendikte” ajaran agama.
Sejarah dari Pinggir
Apa pula yang dimaksud dengan sejarah pinggir?
Jika “sejarah pusat” diasumsikan sebagai narasi yang berputar di sekitar wilayah kerajaan masa silam, maka “sejarah pinggiran” adalah narasi yang menyelimuti kaum dhuafa, serta orang-orang yang secara garis sejarah, tidak memiliki akses yang memadai dengan para pemangku tahta di masa silam.
Olehnya itu, ada baiknya dalam menyimak tulisan ini tidak dipandang sebagai alat pembongkar dan memporak-porandakan tatanan sejarah yang telah ada, namun lebih pada pewacanaan tentang pentingnya perumusan ulang jejak-jejak sejarah masuknya Islam di Majene yang boleh jadi tidak terungkap secara objektif selama ini.
Di sisi lain, pertarungan narasi sejarah janganlah dimaknai dengan tafsiran miring, atau seolah hendak berlepas diri dari cengkeraman sejarah. Karena siapapun, pasti tidak lepas dari sejarah yang mengitari seluruh gerak hidupnya. Bahkan menurut Vali Nasr, “Semua orang yang menjalankan ajaran agamanya tidak terlepas dari narasi yang berkembang sejak awal kehidupannya.”
Narasi tidak selamanya diartikan sebagai dongeng atau cerita yang disimak oleh orang tertentu, melainkan seluruh dimensi cerita yang menyelimuti gerak hidup seseorang. Dan terkadang, narasi ini melalui berbagai macam fase untuk saling mengalahkan bahkan mengelabui satu sama lain.
Lihatlah orang-orang yang senang dengan perdebatan lintas mazhab. Sesungguhnya hal tersebut merupakan bagian dari proses pertarungan narasi yang kerap emosional dan tidak sehat. Sekalipun dengan menggunakan dalil-dalil al-Quran dan Al-Sunnah.
Lebih lanjut, kemenangan narasi juga sangat ditentukan oleh “siapa” penguasa pada saat narasi tersebut dikumandangkan. Kita dapat melihat goresan sejarah para Imam Mazhab. Yang kita pahami selama ini bahwa Imam Mazhab hanya terdiri dari empat orang saja.
Padahal sesungguhnya banyak Imam Mazhab yang tidak dikenal dalam lintasan sejarah di pusat, oleh karena semasa hidupnya tidak akrab dengan penguasa yang mengendalikan sejarah. Bahkan lebih ironis, leher mereka terpenggal bersamaan dengan suara gemerincing pedang kaum tirani di saat tragedi pengaburan sejarah sedang berlangsung.
Olehnya itu, melalui tulisan ini, penulis menitipkan pesan kiranya upaya pembongkaran narasi sejarah Islam Majene dapat dijadikan sebagai wahana strategis bagi proses transformasi sejarah masa silam menuju sejarah sosial yang bermanfaat bagi generasi masa kini. Bukan sebagai racun politik yang mematikan nalar kritis.
Semoga pembacaan kritis terhadap sejarah keislaman di Majene makin terbuka secara luas, bukan bermaksud mencederai citra religius nan berbudaya yang selama ini disandangnya.
Langganan:
Postingan (Atom)